Dimasa pandemi virus corona seperti sekarang, disinfektan untuk menangkal virus mematikan ini menjadi barang langka. Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berhasil memproduksi desinfektan yang bisa dibuat sendiri memakai bahan dasar cuka kayu dan bambu. Cuka kayu (wood vinegar, pyroligneous acid) adalah cairan berwarna coklat pekat dan berbau sangit yang diperoleh dari distilasi asap yang dihasilkan dari proses pembuatan arang kayu. Komponen utama yang terdapat dalam cuka kayu adalah asam asetat dan metanol, dan karenanya zat ini pernah digunakan sebagai sumber komersial untuk asam asetat. Cuka kayu yang disimpan beberapa lama dan diencerkan dengan air, jika disiramkan ke daun atau sekitar akar tumbuhan bisa dimanfaatkan untuk membantu metabolisme tumbuhan tersebut.
Efektivitas Cuka Kayu
Dari uji coba yang dilakukan BLI, dengan penelitian sejak 2010, cuka kayu dan bambu punya daya bunuh terhadap virus, bakteri, dan kuman 70 kali lipat dibanding alkohol. “Rasionya 1% cuka kayu lebih efektif dibanding etanol 70%,” kata Ratih Damayanti, peneliti di BLI yang menguji keampuhan cuka kayu ini, 21 Maret 2020. KLHK pun merilis temuan ini setelah mengujicobanya di kantor BLI di Gunung Batu Bogor, Jawa Barat. Semua ruangan disemprot cuka bambu dan kayu untuk membunuh virus dan kuman yang bersarang di ruang-ruang kantor. “Layak untuk mengantisipasi penyebaran virus Corona Covid-19,” demikian pers rilis KLHK, 21 Maret 2020.
Ratih dan Irnayuli Sitepu menguji cuka kayu ini atas permintaan Kepala Bagian Diseminasi Agus Joko Simanto, untuk menguatkan penelitian manfaat asap cair bagi kesehatan, lewat perbandingan cuka dengan etanol dan salep antijamur yang dijual bebas di toko dan apotek. Hasilnya, cuka kayu jauh lebih efektif. “Kandungan utama cuka kayu dan bambu adalah asam asetat dan fenol,” kata Ratih. “Dua zat ini yang paling berpengaruh.” Dalam laporan pengujiannya, Ratih dan Irna menyimpulkan bahwa, “Konsentrasi 1% cuka kayu atau bambu memiliki kemampuan lebih baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri dibandingkan etanol 70%, terlebih bila dibandingkan salep komersial.”
Selain disinfektan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan KLHK juga memproduksi cairan pembersih tangan (hand sanitizer) dengan formula asap cair(cuka kayu), borneol, etanol, dan gliserol. Sama seperti disinfektan, pemakaiannya telah diujicobakan untuk lingkungan kantor dan dibagikan kepada para pegawai di lingkungan perkantoran BLI Kampus Gunung Batu, Bogor.
Menurut Profesor Gustan Pari, peneliti di BLI yang mengulik keampuhan cuka kayu ini, uji efektivitas ini menggunakan mikroorganisme bakteri yang terdapat pada telapak tangan dan udara di Laboratorium Mikrobiologi Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan di Bogor. Etanol, kata Gustan, adalah alkohol yang selama ini jadi bahan dasar membuat desinfektan. Karena lebih efektif dibanding etanol, kata Gustan, asap cair produksi BLI ini layak dijadikan sebagai disinfektan terutama di tengah kelangkaan produk disinfektan di pasaran akibat permintaan yang tinggi di tengah pandemi corona. “Kami akan segera memproduksinya secara massal untuk dibagikan ke lingkungan masyarakat yang membutuhkan.”
Meski seperti flu, virus corona lebih mematikan karena menyerang organ paling lemah di tubuh manusia. Karena itu tingkat kematian tertinggi diderita oleh mereka yang terinfeksi berusia 60 tahun ke atas. Daya tularnya yang cepat membuat wabah corona menjangkiti lebih dari 80 negara dengan orang terinfeksi mencapai 214 ribu dan membunuh lebih dari 8.000 jiwa. Di Indonesia, hingga 21 Maret 2020, virus ini telah menginfeksi 450 orang dan membunuh 38 penduduk. Di dunia penelitian asap cair dari pembakaran kayu, bambu, atau tempurung kelapa tergolong disinfektan terbaik. Masalahnya, aroma asap cair dari pembakaran terlalu menyengat. Sehingga, para peneliti menambahkan zat lain agar bau menyengat menjadi berkurang dan layak dikonsumsi.
Sumber
- Plt. Kepala Pusat Litbang Hasi Hutan, Djati W. Hadi Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)